Haji Muhammad Soeharto telah meninggal. Kematiannya cukup kontroversial. Ada yang menghujat, ada juga yang memujinya. Terlebih dengan berbagai kasus korupsi para kroni-nya yang hingga kini belum tuntas. Memang banyak kebijakan yang kurang baik seperti kekerasan yang dipakai pada warga Tanjung Priok atau penggusuran tanah serta kasus korupsi KLBI/BLBI yang merugikan negara hingga sekitar Rp 640 trilyun.
Meski demikian kita harus berpikir jernih dan adil dengan menghargai jasa dan prestasinya. Apalagi dibanding dengan pemerintahan yang ada sekarang. Ada juga kebijakan Soeharto yang bagus dan layak dilanjutkan sampai sekarang seperti terjangkaunya biaya pendidikan dari SD hingga PTN, Transmigrasi, Produksi BBM yang lebih tinggi dari sekarang, dan sebagainya.
Jika kita hanya menyoroti keburukannya saja tapi tidak memperhatikan kebaikan yang telah dilakukan, maka kita akan kehilangan contoh yang baik sehingga keadaan justru lebih buruk untuk kasus-kasus tertentu..
Sebagai contoh berita dari www.riauinfo.com menyebutkan bahwa sebagian warga berkata: “Di Zaman Pak Harto, Kita Tak Pernah Antre Beli Minyak…” Yang lain berkomentar: ” kenaikan harga tidak pernah drastis seperti sekarang”.
Memang pada zaman Soeharto, boleh dikata tidak ada antrian warga yang kekurangan minyak tanah, gas, premium, dan sebagainya. Zaman Soeharto jarang-jarang ada lonjakan kenaikan harga sembako sampai lebih dari 100% hanya dalam hitungan minggu.
Pada zaman Soeharto, orang miskin masih bisa menyekolahkan anak-anaknya di Perguruan Tinggi Negeri ternama seperti UI, ITB, ITS, UGM, dan sebagainya karena biaya kuliah yang terjangkau. Sekarang saat kabinet dipegang oleh para ekonom neoliberal, PTN dikomersilkan sehingga dirubah jadi BHMN yang mencari untung. Untuk masuk UI, rakyat harus bayar Rp 25 juta hingga 75 juta lebih hanya untuk uang masuk. Di Unmul ribuan mahasiswa dilarang ujian karena tidak mampu membayar SPP yang biayanya sudah tidak terjangkau.
Di zaman Soeharto, para petani yang tidak punya tanah diberi 1-2 hektar tanah pertanian serta biaya hidup selama setahun lewat proyek transmigrasi ke Sumatera, Kalimanta, Sulawesi, dsb. Indonesia sempat swasembada beras di zaman Soeharto. Sekarang program Transmigrasi ini nyaris berhenti. Indonesia yang negara ”Agraris” saat ini justri mengimpor bahan pangan seperti kedelai, gandum, dsb dari negara “Industri” macam Amerika Serikat.
Angka kejahatan karena masalah ekonomi juga saat ini semakin meningkat. Penculikan jadi sering terjadi, belum lagi pencurian besi menara PLN, rel kereta api, atau pun kabel pesawat telpon.
Begitu juga dengan kasus stress atau bunuh diri karena ekonomi.
Walhasil dari segi kesejahteraan rakyat, zaman Soeharto lebih baik. Mungkin rakyat tertekan, tapi mereka bisa makan dan belajar dengan harga terjangkau.
Sekarang rakyat bebas bersuara, tapi mereka banyak yang harus makan nasi aking (nasi basi) atau gaplek karena harga sembako yang kian meningkat. Yang tidak sekolah/kuliah pun sekarang banyak karena PTN sudah tidak terjangkau lagi oleh rakyat. Rakyat juga harus antri dengan jerigen untuk mendapatkan minyak tanah.
http://news.yahoo.com/s/afp/20080128/ts_afp/indonesiapoliticssuharto
Tens of thousands bid farewell to Indonesia’s Suharto
Mariani, a 53-year-old woman, said she had walked two hours to be there.
“I think Pak Harto thought of the people,” she told AFP, using a respectful appellation. “Everything was cheap, now things are expensive.”
http://cybernews.cbn.net.id/cbprtl/Cybernews/detail.aspx?x=Regional&y=Cybernews|0|0|11|631
Apa Kata Mereka
“Di Zaman Pak Harto, Kita Tak Pernah Antre Beli Minyak…”
Regional Mon, 28 Jan 2008 09:17:00 WIB
Pekanbaru – Selain ada yang memandang negatif, ternyata banyak warga memang positif masa kepemimpinan Soeharto. Ini terungkap dari hasil rekaman yang dilakukan RiauInfo tentang pendapat sejumlah warga di Pekanbarub terhadap masa kepemimpinan yang selama 32 tahun jadi presiden.
Umumnya warga menyebutkan kondisi zaman Pak Harto jadi presiden lebih baik dibandingkan zaman sekarang. Irwan (24) salah seorang warga Jalan Utama Pekanbaru mengatakan, salah satu bukti zaman Pak Harto lebih baik, inflasi tidak pernah setinggi sekarang ini. “Artinya kenaikan harga tidak pernah drastis seperti sekarang,” jelas mahasiswa Fekon, Universitas Riau ini.
Pendapat yang sama juga disampaikan Ny Herawati (33) warga Jalan Sekuntum, Pekanbaru. Ibu dari 2 orang anak ini menyebutkan, zaman Pak Harto dulu mendapatkan minyak tanah sangat mudah. Tapi sekarang untuk mendapatkan minyak tanah harus antri dulu. “Dulu mana pernah antri seperti sekarang ini,” ungkapnya.
Makanya, dia berpendapat hidup zaman Pak Harto lebih menyenangkan. Semua barang kebutuhan sehari-hari tersedia sepenuhnya. Tidak perlu antri untuk mendapatkannya. Begitu pula halnya dengan beras dan barang kebutuhan utama lainnya, tidak sulit mendapatkan dan harganya tidak pernah melonjak tinggi.
Pendapat Nanang (42) warga Jalan Pramuka, Rumbai, Pekanbaru, juga tak jauh berebda. Lelaki yang bekerja di sebuah perusahaan swasta ini menyebutkan stabilitas keamanan juga sangat terjamin di zaman Pak Harto. Tidak ada aksi unjuk rasa seperti sekarang ini marak terjadi. “Kita bisa hidup tenang tanpa dicekam ketakutan,” tambahnya.(Ad)
Sumber: RiauInfo.com
Filed under: Ekonomi, Kemiskinan, Pendidikan |
Maaf, Pak Nizami
Menurut saya, pendapat rakyat yang lugu tentang Pro Suharto tidak perlu diexpose. Walaupun saya baru 12 tahun tinggal di Pekanbaru, saya mengerti betul karakteristik Rakyat Riau, terus terang saja, mayoritas KURANG WAWASAN Ekonomi & politik.
Menurut Dr. Syahrir (pakar Ekonomi Makro Indonesia) dalam buku terbarunya yang saya baca tahun 2001, (saya lupa judul bukunya);
—-> Ekonomi Indonesia Collapse karena Suharto memberlakukan Ban Intervensi terhadap bank Sentral (BI), akhirnya ban intervensi itu dilepas tahun 1997 (zaman kekuasaan Suharto). Padahal, Suharto (melalui Gubernur BI) sesumbar bahwa Cadangan Devisa Indonesia masih sangat kuat. Nyatanya apa? Cadangan Devisa itu menyangkut ke kantong pribadi Kroni2 nya Suharto.
Intinya, BI tidak independen, dan dana negara diselewengkan (Suharto menyalahi prosedur). Setelah bank Intervensi dilepas, Rp langsung melayang, mulai Level Rp 2.400, tembus angka psikologis Rp 15.000 dan akhirnya beliau mengundurkan diri dengan meninggalkan Inflasi (Kenaikan harga barang dan jasa secara menyeluruh). BELIAU MENGUNDURKAN DIRI, menurut para ekonom Indonesia adalah tidak bertanggung jawab.
Ini pun ditegaskan Pak Faisal Basri (Ekonom Makro ekonomi) malam ini (wawancara 4 jam lalu di TV sebelum Amien Rais), bahwa di akhir masa kekuasaannya, Indonesia ambruk karena Suharto.
Yang kasihan adalah BJ Habibie, mengapa dia mau menerima mandat dari Pak harto, di saat ekonomi Indonesia sudah hancur lebur di tangan Pak Harto (Hutang Luar Negeri telah jatuh tempo, cadangan devisa minim). Akhirnya Habibie memulihkan ekonomi Indonesia dan kepercayaan International dengan “transparansi”, menurunkan Rp dari Rp 15.000 ke Rp 7,000 , menurunkan Inflasi (yaitu Deflasi), meratifikasi HAM dalam Tap MPR, Mencabut SIUPP, menghapus DOM di Aceh, mencabut Tapol & Napol, Mencabut UU Subversif INTINYA kontra dengan Suharto.
Kemudian Prestasi Habibie dilanjutkan Gus Dur dengan Meratifikasi Ham kedalam Amandemen UUD 1945, UU Nomor 39/1999 tentang HAM, UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, serta serta pembentukan Komisi Penyelidik
Pelanggaran (KPP) HAM Timor Timur.
Megawati membuat kehancuran ekonomi, terutama menjual Indosat ke Singapore. Padahal, Indosat adalah Alat Vital Komunikasi Intelijen RI.
Sementara SBY Tidak mempunyai Visi ekonomi yang jelas sampai saat ini, tapi lumayanlah, hutang Indonesia mulai diangsur oleh SBY 🙂 dengan mengorbankan penyaluran kredit Mikro.
Akan sangat bijaksana kalau Pak Nizami lebih banyak mengutip pernyataan para Ekonom dan ahli hukum dibanding rakyat yang tidak mengerti apa-apa.
Sedangkan dosen2 Ekonomi di kampus saya juga kontra Suharto, Koq Pak… 🙂
Maaf, bukannya saya membuka aib Almarhum, tetapi saya wajib menyampaikan kesalahpahaman masyarakat di Forum ini, sebagai pembelajaran ekonomi dan politik.
Jazakillah.
Wassalam,
C.A. Hidayat,
Pekanbaru
Rakyat mungkin tidak mengerti apa-apa. Tapi mereka merasakan dan mengalami kehidupan pada zaman Soeharto dan zaman sekarang. Mereka mengatakan apa adanya. Komentar seperti itu tidak hanya dimuat di Riau.info, tapi juga di berita Yahoo (link ada di atas).
Saya sendiri juga mengalami hal itu. Benar pada zaman Soeharto jarang ada antrian minyak, lonjakan harga sembako hingga 100% lebih dari hitungan minggu, atau biaya kuliah di PTN yang dulu hanya Rp 200 ribu sementara sekarang untuk masuk di PTN yang sama uang masuknya Rp 25 juta hingga Rp 75 juta. Ini adalah satu fakta yang tidak dapat dibantah.
Hingga pada saat awal tahun 1980-an memang sistem ekonomi kita sangat bagus. Ini diakui seorang ekonom di TV. Hanya ketika Soeharto mulai uzur dengan umur 70 tahun lebih maka dia jadi keliru dan menurut saja terhadap pendapat para ekonom neoliberal. Sistem moneter yang dulu dipeg dibiarkan mengambang hingga bisa dipermainkan para spekulan uang sehingga rupiah rontok hingga jadi Rp 16.700/USD. Apalagi saat Soeharto menyerah pada IMF, maka bencana mulai terjadi.
Saya setuju dengan pendapat yang pertama. Pendapat rakyat banyak tidaklah mencerminkan kebenaran. Mereka mungkin hanya tahu yg baik2 saja. Mungkin kalo boleh menyederhanakan, ibaratnya kita dulu hidup di atas rumah yang pondasinya betul2 rapuh bahkan rusak. Karena untuk memperbaiki pondasi itu butuh waktu lama dan biaya besar, si empunya rumah cenderung malah memperbaiki tampilan luarnya saja – termasuk mempercantik asesori rumah. Yang tinggal di rumah senang, punya rumah kelihatan bagus dan nyaman. Ketika terjadi gempa, karena pondasi yg rapuh, rumah itu rusak parah. Untuk memperbaikinya, timbullah masalah. Ada yg pengen pindah rumah, ada yg pengen ganti pondasi, ada yg pengen rumah spt yg lama, ada yg pengen kenyamanan yg lama dsb. Karena si empunya rumah kemudian terbukti tidak punya persiapan sama sekali maka rumah itu semakin susah untuk kemabli spt sedia kala.
Cerita spt itu mungkin bisa menjadi gambaran apa yg selama ini terjadi.
Salam
Meski mungkin pendapat di atas ada benarnya, tapi saya khawatir jika pernyataan harga sembako dan migas murah, biaya pendidikan terjangkau, transmigrasi bisa dilakukan hanya karena Indonesia berutang besar-besaran.
Artinya jika tidak berhutang, rakyat harus rela jika sembako, migas, biaya pendidikan jadi mahal mengikuti harga Internasional (sementara penghasilan kita masih 1/20 penghasilan rakyat Amerika Serikat, dan proyek Transmigrasi dihentikan. Pendapat seperti ini menurut saya agak “berbahaya” dan menyengsarakan rakyat.
Hutang pemerintah Indonesia kurang separuh dari hutang Indonesia yang besarnya USD 125 milyar, yaitu USD 50 milyar atau sekitar Rp 470 trilyun. Sementara hutangSwasta dengan kebijakan pemerintah yang berubah sejak tahun 1988 ke arah sistem ekonomi Neoliberal/pasar membubung hingga USD 75 milyar yang akhirnya disubsidi pemerintah.
Tidak sepenuhnya benar jika dikatakan hutang pemerintah yang Rp 470 trilyun itu untuk mensubsidi rakyat di bidang Sembako, migas, pendidikan. Paling tidak untuk KLBI dan BLBI saja pemerintah harus mengeluarkan uang Rp 640 trilyun sementara menurut majalah Time harta hasil keluarga Soeharto sebesar USD 15 milyar (Rp 141 trilyun)
===
http://www.time.com/time/asia/asia/magazine/1999/990524/cover1.html
A TIME investigation into the wealth of Indonesia’s Suharto and his children uncovers a $15 billion fortune in cash, property, art, jewelry and jets
===
Bisa jadi hutang yang besar itu mengalir ke korupsi mega trilyun rupiah yang dilakukan ole kroni Soeharto. Bukan ke murahnya sembako, pendidikan, dsb.
Ada pun mengenai sembako murah, karena di zaman Soeharto memang transmigrasi dan pertanian sangat digalakkan sehingga Indonesia sempat swasembada pangan. Sementara saat ini sangat tergantung impor sehingga jika harga di luar negeri naik, di sini langsung naik. Begitu pula migas di era Soeharto kita sempat mengalami surplus.
Mengenai pendidikan, tanpa berhutang pun harusnya memang terjangkau karena denga amanat anggaran pendidikan 20% dari APBN, jika 10% saja dari APBN yang Rp 800 trilyun didapat Rp 80 trilyun untuk sekitar 50 juta siswa atau Rp 1,6 juta untuk setiap siswa (termasuk anak orang kaya!) per tahun. Jadi tanpa hutang besar pun seharusnya pendidikan bisa murah. Apalagi 80% sumber dari APBN berasal dari pajak.
Mengenai runtuhnya Soeharto dan kenapa hutang jadi besar karena adanya pergeseran kebijakan ekonomi yang mengarah ke sistem Neoliberal sehingga pasar uang kita tidak dipatok lagi, tapi mengambang mengikuti harga pasar. Begitu spekulan valas raksasa Georgo Soros dengan Quantum Fundnya menghantam rupiah, hancurlah perekonomian Indonesia. Ini yang jarang jadi pusat perhatian kita.
Di bawah beberapa komentar para ahli.
Wassalam
===
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_3.htm
Frans Seda
KRISIS MONETER INDONESIA
Sementara itu terjadi pula suatu perombakan yang drastis dalam strategi Pembangunan Ekonomi. Pembangunan Ekonomi yang selama ini adalah “State” dan “Government-led” beralih menjadi “led by private initiatives and market”. Hutang Pemerintah/Resmi/Negara turun dari USD. 80 milyar menjadi USD. 50 milyar di akhir tahun 1996, sementara Hutang Swasta membumbung dengan cepatnya. Jika di tahun 1996 Hutang Swasta masih berada pada tingkat USD. 15 milyar, maka di akhir tahun 1996 sudah meningkat menjadi antara USD. 65 milyar – USD. 75 milyar.
…
Di tahun 1980-an, didesak oleh kebutuhan akan modal, efisiensi, dan teknologi yang lebih meningkat untuk menjaga agar Pembangunan Ekonomi berkelanjutan mantap meningkat, dan di bawah pengaruh globalisasi, maka terjadi proses Swastanisasi dari Pembangunan. Proses tersebut ditandai oleh suatu proses Liberalisasi dan mekanismenya adalah Deregulasi/Ekonomi.
===
Judul Artikel: Dampak Hutang Luar Negeri dan Variabel Makro Ekonomi Lainnya Terhadap Perekonomian Indonesia
Penulis: Antoni.,SE.,ME
Tanggal publikasi: 03/10/2006 – 11:29
Dipublikasikan di:http://www.bung-hatta.info/content.php?article.154
Selama kurun waktu 1967-1988 komposisi hutang luar negeri Indonesia mengalami beberapa perubahan mendasar. Sumber-sumber hutang pemerintah telah bergeser dari ketergantungan yang sangat besar terhadap hutang dari pemerintah negara asing (official loans) ke arah pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan swasta yang mengenakan syarat-sayarat pinjaman komersil dan cicilan pembayaran hutang luar negeri telah menjadi beban yang semakin berat bagi perekonomian Indonesia semenjak tahun 1988. Meskipun Indonesia belum pernah mengalami kesulitan mencicil hutang, dua kejutan eksternal pada awal delapan puluhan menimbulkan antisipasi bahwa Indonesia dapat juga mengalami kesulitan itu di masa depan. Kenaikan tingkat bunga uang dipasar internasional dan resesi dunia yang menekan turun harga minyak pada tahun 1982 diperkirakan mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk mencicil hutang dalam dua atau tiga tahun setelahnya.
pendapat rakyat tidaklah mencerminkan kebenaran? justru itulah kebenaran. apalah artinya hak dapat bersuara sebebas-bebasnya (yg sebetulnya tidak bebas juga.. hak ini hanya dinikmati golongan tertentu) apabila tidak bisa makan dan memberi makan anak dan keluarga?
rakyat yang lugu inilah yang harusnya kita protect dan bantu. apabila keadaan dan pemerintahan yang sekarang ini ingin dibilang berhasil, tidak usah dulu lah memikirkan ekonomi dan kemajuan apalah dari negara ini. yang paling dasar dulu saja, pondasi negara, kebutuhan dasar mansuai dan rakyat kita. sandang papan pangan. baru yang lainnya dibetulkan.
saya sangat setuju bahwa suharto adalah our greatest leader, karena inspite of all the bad things he did, he still did a lot of good things. and that’s what counts.
Aman..ngk ada maling..ngk ada rampok..ngk ada konflik SARA..nyaman..tenang..tentram..ngk peduli berapa banyak hutangnya yg penting rakyat (anak) kenyang…!!!!! persetan dengan pendapat kalian yg jelas saya merasakannya…!!!! munafik orang yg ngk mengakui keberhasilan pak harto…!!! tanpa di bangunnya bendungan kedung ombo mungkin rakyat di sepanjang purwodadi-demak ngk ada yg bisa naik haji..karena sawah ngk ada aliran irigasinya…TRIMAKASIH PAK HARTO.