Mengapa terjadi perbedaan pendapat antara pendukung Jokowi dan pengkritiknya?
Ada pengkritik yg berlebihan sehingga condong menghina. Masalah bayangan matahari yang tak penting saja dipersoalkan. Ada juga rakyat biasa yang protes kok harga bensin Rp 7000 per liter padahal harga minyak dunia cuma US$ 28/brl sementara waktu harga minyak US$ 100/brl harga bensin di zaman SBY cuma Rp 6500/liter. Harusnya menurut Okezone cukup Rp 3800/ltr. Oh dolar naik, kata pendukung Jokowi. Lah zaman SBY dollar Rp 12.000 sementara sekarang Rp 14.000 atau kurang dari 20% naiknya. Sementara turunnya minyak sampai 70% lebih. Tetap saja harusnya turun. Nah karena tidak beres macam inilah maka rakyat yang tidak kebagian apa2 pada protes. Soalnya harga2 barang lainnya juga ikut jadi mahal. Pabrik banyak yang tutup dan rakyat banyak yang menganggur.
Sementara pendukung Jokowi ada yang ikhlas, ada juga yang kecipratan seperti jadi Direktur atau komisaris BUMN atau jadi Dirjen dengan penghasilan ratusan juta rupiah per bulan. Ah zaman Jokowi enak kok. Buktinya penghasilan saya bisa ratusan juta rupiah per bulan. Ini yang mengkritik haters. Tukang fitnah. Tidak tahu dia kalau lawan debatnya itu adalah pengangguran atau setengah menganggur karena perusahaannya tutup atau sempoyongan.
Ini adalah ketidak-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di situlah kenapa beda pendapat itu terjadi… 🙂
Ada juga yang berkomentar:
Sita B:
juga rata2 yg love jokowi banyak juga yg kalangan the haves, jadi ga bisa paham knp rakyat jelata n sebag rakyat yg cukupan teriak harga2 naik. Bagi mereka, bbm naik keq pangan naik keq no problem, krn financially mrk wokeh sampe, minimal, 3 turunan
Tinggalkan Balasan