Ini adalah satu contoh Mal yang sepi. Meski baru 3 tahun dibuka, namun bukannya tambah ramai, toko2 malah makin banyak yang tutup karena omset penjualan tidak bisa menutupi sewa toko dan gaji karyawan. Banyak pemilik toko yang menutup tokonya.
Dengan penjualan Rp 20 juta / bulan pun tak akan bisa menutupi sewa toko dan gaji karyawan.
AC-nya panas dan eskalator sering mati untuk menghemat biaya.
Meski diskon besar2an hingga Big Sale 70% lebih, tetap saja sepi. Nyaris tak ada pembeli. Soalnya harga setelah diskon 70% pun tetap saja harga baju dan celana sekitar Rp 200 ribuan. Masih tidak terjangkau bagi rakyat kebanyakan.
Tak semua orang Indonesia cukup kaya untuk belanja di Mal yang harganya 3-5x lipat dari Pasar Tradisional. Jadi yang lebih baik dikembangkan adalah Pasar Tradisional. Yang penting ditata agar penjual dan pembeli tidak kepanasan / kehujanan, tidak becek, bersih, serta nyaman dan aman.

Seorang Karyawan tengah menutup tokonya
Pasar Tradisional itu biaya operasionalnya kecil. Harganya murah. Jadi meningkatkan daya beli rakyat. Sementara Mal-mal yang ber-AC dgn Lift dan Escalator itu biayanya mahal. Harga barang juga mahal. Jadi memiskinkan rakyat.
Filed under: Ekonomi |
Tinggalkan Balasan