Tri Mumpuni – Wanita Pembangun 60 Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro

Sosok Wanita Penerang Desa
Tri Mumpuni telah membangun sekitar 60 pembangkit listrik tenaga mikrohidro. (Foto:BBC)

Menerangi sebanyak mungkin desa dengan pembangkit listrik mini tenaga air. Itulah salah satu mimpi Tri Mumpuni. Bagi perempuan yang satu ini mimpi itu bisa diwujudkan dengan kemauan dan kerja keras. Dan, dia telah menunjukkannya dengan menjadi motor pembangunan setidaknya 60 pembangkit listrik tenaga air yang ramah lingkungan di berbagai pelosok desa di Indonesia.

Atas aktivitasnya yang bersifat swadaya energi ini, perempuan kelahiran 1964 ini kemudian dijuluki sebagai wanita “penerang desa.” Namun, menurut Puni, listrik sebenarnya bukanlah tujuan utamanya, melainkan membangun potensi desa agar berdaya secara ekonomi.

“Ini tidak berhenti di tingkat teknologi, tapi kita juga harus selalu maju dan bersemangat untuk mengembangkan masyarakat,” tegas Tri Mumpuni kepada Heyder Affan dari BBC Indonesia, di kantornya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Barat.

Tertarik aktivitas suami
Menurut catatan, hingga pertengahan 2010, ada sekitar 60 pembangkit listrik tenaga air berskala kecil atau mikrohidro telah dibangunnya di berbagai wilayah di Indonesia.

Berawal dari aktivitas suaminya di bidang kelistrikan ini di tahun 90-an, Tri Mumpuni kemudian tertarik untuk terjun ke bidang yang sama. Namun, dia memilih penekanan pada sisi pemberdayaan masyarakat pada pembangunan pembangkit listrik tenaga air ini.

“Saya rasa ini pembangunan pedesaan yang komprehensif. Ya dapat teknologinya, juga dapat menjaga hutannya, sekalian bisa meningkatkan hasil panennya,” paparnya.

Dengan semangat itulah, Puni memutuskan untuk membantu masyarakat di pedesaan terpencil yang belum menikmati listrik. Dibantu suaminya, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini kemudian memanfaatkan sumber daya alam berupa air sebagai energi alternatif.

“Karena di Indonesia air itu melimpah dan relatif murah,” katanya.

Melalui lembaga Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan yang dipimpinnya, dia antara lain memanfaatkan aliran sungai untuk membangkitkan listrik berkekuatan kecil atau mikrohidro, yang disebutnya ramah lingkungan.

Upaya ini disebutnya swadaya energi, karena dilakukan tanpa uluran bantuan pemerintah.

Sebagai modal awal, Tri Mumpuni meminjam dana dari bank atau mencari bantuan dari sejumlah negara melalui kantor kedutaannya di Jakarta.

Salah-satu langkah awalnya yang disebutnya berhasil adalah membuat pembangkit listrik mikrohidro di Desa Curuagung, Subang, Jawa Barat, di tahun 90-an.

Dengan memanfaatkan Sungai Ciasem, Puni dan warga desa setempat membangun pembangkit listrik berkekuatan 13 kilowatt, yang akhirnya dapat menerangi 121 rumah di desa tersebut.

“Walau modal awalnya hanya Rp 44 juta,” kata ibu dua anak ini.

Tidak gampang
Setelah lebih dari sepuluh tahun berkecimpung di dunia ini, Tri Mumpuni kini mengaku telah membangun pembangkit tenaga air mini di sekitar 60 lokasi di Indonesia. Tetapi perempuan kelahiran 1964 ini mengaku apa yang dilakukannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Selain kesiapan teknis yang membutuhkan perencanaan matang, Puni menyebut kehadiran masyarakat di dalam pembangunan ini sebagai faktor paling penting.

“Dan ini pekerjaan panjang,” tandasnya.

“Kita perlu endurance, perlu passion, komitmen. Jika gagal, diulangi lagi. Gagal diulangi lagi! Karena, kita bicara development, kita bicara membangun manusia,” jelas Tri Mumpuni, yang atas berbagai upayanya ini meraih predikat Climate Hero 2005 dari Wild World Fund International.

Dia kemudian menyebut aktivitasnya tidak semata membangun piranti fisik seperti pembangkit listrik bertenaga air, tetapi selanjutnya bagaimana memberdayakan masyarakat setempat.

“Bagaimana agar pembangkit listrik yang sudah kita berikan kepada masyarakat itu bisa dikelola, dioperasikan, dirawat dan lebih penting lagi dimiliki oleh rakyat,” jelasnya.

Agar upaya ini membuahkan hasil, demikian Tri Mumpuni, masyarakat dilibatkan sejak awal sebelum pembangkit itu dibangun.

“Kita gelar rapat untuk membentuk organisasi di level desa. Karena mereka yang kelak akan mengelola, mengoperasikan dan merawat, sekalian menentukan tarif untuk membeli listrik itu,” ungkap Tri Mumpuni.

Persoalannya tidak semua warga bersedia membayar iuran secara rutin. Padahal uang itu nantinya digunakan untuk membayar operator yang menjalankan turbin dan sebagai biaya perawatan.

Di sinilah tantangannya, kata Puni. “Banyak orang kaya dan mampu, tapi nggak mau membayar. Ada orang mau bayar tapi nggak mampu membayar. Nah bagaimana seni mengotak-atik kedua itu.”

Tolok ukur keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat ini, menurut perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah ini adalah apabila masyarakat mampu menjamin keberlangsungan pembangkitnya.

“Dan saya senang karena ada beberapa desa yang sudah memiliki listrik dalam rentang setahun, punya tabungan sampai Rp 160 juta,” ungkapnya.

Meskipun demikian, Puni mengaku tidak semua programnya berjalan seperti diharapkan. “Yang 20 persen itu bukan gagal, karena kalau gagal itu artinya rusak dan tak termanfaatkan.”

Dipuji Presiden Obama
Berkat dedikasi, bulan April lalu, Puni– demikian sapaan akrabnya–diundang khusus oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Ia diundang bersama delapan wirausahawan Indonesia dalam acara bertajuk Presidential Summit on Entreprenership di Washington, Amerika Serikat.

Dalam kesempatan itu, Presiden As Barack Obama memuji upaya yang telah dilakukan Tri Mumpuni.

Dalam pidatonya, secara khusus Obama menyebutnya, “telah membuat sekitar 60 desa terpencil menjadi terang-benderang”.

“Kita mendapatkan seorang wirausahawan sosial seperti Tri Mumpuni, yang telah membantu masyarakat desa di Indonesia mendapatkan listrik dan pendapatan dari pembangkit listrik tenaga air,” ujar Obama dalam pidatonya, yang langsung disambut tepuk tangan para hadirin.

Obama kemudian mengucapkan terima kasih kepadanya. Bersama peraih Nobel Perdamaian 2006 Muhammad Yunus, Puni secara khusus menjadi panelis dalam acara itu.

Di dalam panel itu Puni mengaku puas. “Karena saya mengatakan di hadapan orang-orang kapitalis, bahwa ‘my business is beyond profit and beyond money. Yang penting bagaimana memberdayakan orang lain dan membawa manfaat,” ujarnya.

Birokrat bikin frustasi
Dalam wawancara kepada BBC, Tri Mumpuni mengaku tidak pernah berputus asa saat berhubungan dengan masyarakat selama ini. Tetapi yang acap membuatnya frustasi adalah perilaku birokrat yang disebutnya mempersulit interaksi saya dengan rakyat, merongrong dan bahkan terkadang minta uang.

Dia kemudian mengungkapkan pengalamannya saat membangun pembangkit listrik bertenaga air di sebuah daerah. Di tempat itu, seorang aparat mendatangi warga dan meminta uang. Tanpa sepengetahuan dirinya, warga ternyata tidak dapat menolak permintaan aparat itu dengan berbagai alasan.

“Saya marah dan saya katakan ‘kenapa diberi dan siapa yang menyuruh dia datang kemari’. Saya terpaksa mengganti (uang warga). Mungkin nilai uang itu tidak besar yaitu sekitar Rp 200-300 ribu, tapi moral di belakang itu yang tidak dapat saya terima,” sergahnya.

Pengalaman seperti ini, di mata Puni betul-betul hanya menghabiskan energi. “Makanya saya katakan bangsa ini nggak maju, karena mental aparatnya seperti itu,” pungkasnya.

http://www.nonblok.com/blokinspirasi/kisah.keteladanan/20100601/17591/sosok.wanita.penerang.desa

Tri Mumpuni Wiyatno Menerangi Desa

Dia menerangi desa dalam arti sebenarnya. Bersama suaminya, Iskandar Budisaroso Kuntoadji, Tri Mumpuni Wiyatno membangun pembangkit listrik mini bertenaga air. Sudah 60 lokasi mereka terangi dengan listrik.

Listrik bukan tujuan utama kami, melainkan membangun potensi desa supaya mereka berdaya secara ekonomi,” kata Tri Mumpuni atau biasa dipanggil Puni dalam percakapan pekan lalu di Jakarta.

Karena itu, meskipun telah melistriki banyak tempat, Puni yang menjadi Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), lembaga swadaya yang dia dirikan bersama Iskandar pada 17 Agustus 1992, terus mengembangkan end use productivity, yaitu bagaimana masyarakat desa setelah memiliki listrik menggunakan listrik itu untuk kegiatan produktif sesuai potensi desa.

Dalam konteks krisis lingkungan Bumi saat ini, dengan pemanasan global yang menimbulkan berbagai perubahan iklim dan cuaca, apa yang dilakukan Puni dan Iskandar menjadi bermakna.

“Agar pembangkit listrik tenaga air itu mampu berfungsi terus-menerus sepanjang tahun, setidaknya daerah tangkapan air di hulu harus dipertahankan seluas 30 kilometer persegi. Artinya, tidak ada penebangan hutan atau penggundulan vegetasi,” kata Puni.

Pembangkit listrik mikrohidro juga ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. Artinya, tidak menambah jumlah gas karbon dioksida ke atmosfer yang memperburuk efek rumah kaca penyebab naiknya suhu muka Bumi secara global.

Pembangkit mikrohidro Ibeka tidak ada yang menggunakan dana pemerintah?

Kami memang tidak pernah menggunakan dana Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) karena sistem APBN tidak mengakomodasi proses pemberdayaan masyarakat. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 mengharuskan adanya tender. Tidak mungkin rakyat kecil mengakses.

Selama ini kami menggunakan dana donor melalui kedutaan dan ada dari perusahaan dalam skema tanggung jawab sosial perusahaan.

Apa yang menarik Anda membangun listrik mikrohidro?

Mas Iskandar sudah mulai sejak tahun 1987 melalui lembaga yang dia dirikan bersama teman-temannya, Yayasan Mandiri, tetapi berjalan sangat lambat.

Saya melihat orang desa punya potensi berkembang, tetapi perlu alat. Nah, listrik itu alatnya. Jadi, listrik itu hanya alat, bukan pembangunan itu sendiri.

Suatu ketika Mas Iskandar minta tolong saya mempresentasikan proposal dana listrik mikrohidro. Saya langsung tertarik dan meninggalkan pekerjaan sebelumnya dalam program rumah untuk orang miskin di perkotaan, perempuan, lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Listrik di pedesaan ini mencakup semua hal itu. Begitu masyarakat punya listrik sendiri, mereka akan punya uang bersama untuk membiayai pendidikan, program kesehatan, program perempuan, infrastruktur seperti jalan, sampai radio komunitas.

Dari jumlah 60 lokasi yang dibangun Ibeka, berhasil semua?

Ada empat atau lima tempat yang tidak jalan lagi dengan macam-macam alasan. Di Padasuka, Cianjur, pohon di daerah tangkapan airnya ditebangi karena katanya untuk lapangan golf. Ternyata tidak jadi dan sekarang ditumbuhi ilalang. Ada yang turbinnya dijual kepala desanya sebagai besi tua, ada yang lalu listrik PLN masuk ke tempat itu.

Membangun komunitas

Karena memegang prinsip listrik hanya alat untuk membangunkan potensi masyarakat desa, cara kerja Puni dan Iskandar adalah membangun komunitas, mengajak mereka menyadari pembangkit listrik itu milik mereka dan mereka harus memelihara bukan hanya turbinnya, tetapi juga keajekan aliran air sepanjang tahun.

“Awalnya, kami yang memang senang jalan-jalan ke desa melihat ada sungai yang alirannya bagus dan belum ada kabel listrik PLN lalu kami temui kepala desanya.”

“Kami tidak berani memberi harapan. Biasanya Mas Iskandar akan bilang, kebetulan dia diberi pengetahuan lebih untuk mengadakan listrik. Ibu ini—maksudnya saya—yang akan mencarikan uangnya,” kenang Puni. “Setelah itu saya akan cari uang ke mana-mana.”

Desa-desa yang mereka bantu biasanya terpencil. Salah satunya Dusun Palanggaran dan Cicemet, enklave di Gunung Halimun, Sukabumi, Jawa Barat, yang mereka terangi dengan listrik tahun 1997. Untuk mencapai tempat itu harus berjalan kaki sembilan jam atau naik motor yang rodanya diberi rantai sebab jalan setapaknya licin. “Uang dari listrik dipakai membangun jalan berbatu yang bisa dilalui kendaraan four wheel drive. Ini membuka peluang membantu 10 dusun lain,” kata Puni.

Sebelum membangun pembangkit listrik, Ibeka selalu mengumpulkan data untuk melihat kemungkinannya secara teknis. Iskandar lalu membuat rencana teknik dan menghitung rencana anggaran biaya. Setelah itu tugas Puni “berjualan”. “Yang banyak membantu kedutaan Jepang,” kata Puni.

Setelah dana ada, Ibeka lalu mengirim tim sosial yang biasanya tinggal mulai dua minggu sampai satu bulan di desa. Di sini proses membangun komunitas dimulai, saat masyarakat diajak berdialog.

“Kami akan mencari orang-orang berpengaruh di desa itu lalu membuat pertemuan dengan masyarakat di gereja bila komunitasnya Kristiani, di masjid kalau komunitasnya Muslim, atau di rumah adat seperti di Kalimantan,” kata Puni.

Masyarakat diminta membuat organisasi yang akan mengurus turbin, menentukan siapa ketua, bendahara, sekretaris, sampai orang yang bisa bongkar-pasang mesin sebagai operator. Mereka juga diajak menghitung biaya yang harus dibayar pelanggan sebagai dana abadi dan dana untuk memelihara pembangkit listrik itu. “Ternyata orang desa nyambung diajak bicara hal-hal seperti itu,” kata Puni.

Ketika kemudian tim teknis tiba, mereka sudah tahu siapa operator turbin. Dia akan diajak ikut memasang turbin karena Ibeka selalu mengajak masyarakat bergotong royong membangun.

Kekecualian terjadi di Desa Krueng Kala, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Menurut Puni, masyarakat di sana sama sekali tidak membantu karena mereka lelah setelah konflik berkepanjangan dan kemudian disapu tsunami pada 24 Desember 2004.

“Di sana tersisa hanya satu desa dengan 215 keluarga,” kata Puni. Lembaga swadaya internasional juga bertanggung jawab dengan membuat proyek Cash for Work. “Orang dibayar Rp 50.000-100.000 sehari untuk mengangkut batu dan membersihkan sampah di rumah mereka sendiri.”

Ketika enam bulan Puni kembali ke sana, hal tak disangka terjadi. “Kas desa terisi Rp 23 juta. Lalu ada aturan baru desa yang melarang menebang pohon apa pun dalam jarak 50 meter di kiri dan kanan sungai. Mereka menanam pohon buah-buahan supaya bisa dapat hasil dari buah itu. Padahal, sebelumnya sulit sekali menentukan uang langganan karena mereka merasa tidak punya uang.”

Sama-sama untung

Dalam sistem yang dibangun Ibeka, menurut Puni, bukan hanya masyarakat desa yang untung. PLN dan pemerintah juga untung.

Desa yang belum ada aliran listrik PLN (off grid) mendapat pemasukan dari uang langganan yang dibayar penduduk.

Di desa yang ada jaringan PLN, Ibeka menggunakan skema on grid yang menguntungkan dua pihak. “Kalau tidak salah ingat, pada 26 Desember 1999 ketika Pak Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Menteri Pertambangan dan Energi saya menjelaskan agar sistem ini diterapkan di Indonesia,” kata Puni.

Rakyat tidak perlu terpinggirkan dalam pembangunan, bahkan punya dana abadi karena listrik yang menjadi aset desa dijual kepada PLN. “Ini bukan hanya capacity building, tetapi equity building karena kepemilikan rakyat sangat dihormati,” kata Puni.

PLN tidak perlu investasi. “Karena yang investasi rakyat dengan bantuan donor,” tambah Puni. “Sebenarnya pemerintah juga bisa investasi, tetapi saya tidak mengerti mengapa sampai sekarang tidak dilakukan.”

PLN menerima listrik bersih karena sumber energinya air, bukan bahan bakar fosil. Dari sisi teknis, di ujung-ujung jalur distribusi kualitas listrik PLN tetap terpelihara bila di ujung-ujung itu listrik PLN disuntik listrik rakyat.

Keuntungan untuk pemerintah, harga listrik mikrohidro lebih murah, Rp 425 dan Rp 432 per kWh. “Setahu saya listrik dari swasta dijual 6-7 sen dollar AS sebelum negosiasi,” kata Puni.

“Bila pemerintah sepakat membangun 500 megawatt listrik dari tenaga mikrohidro, lalu rata-rata satu pembangkit menghasilkan 100 kWh, berarti ada 5.000 pembangkit. Bila semua dijual ke PLN, ada pemasukan uang ke desa sebesar Rp 1,29 triliun per tahun. Bayangkan ekonomi desa yang akan tumbuh karena itu.”

Bila pembangkit itu dioperasikan masyarakat, berarti ada 5.000-an usaha kecil di desa yang menyerap 39.000 tenaga kerja bila tiap pembangkit dioperasikan tiga-enam orang. Orang desa pun akan bertahan di kampungnya karena ada kegiatan ekonomi di sana.

“Penghematan bahan bakar mendekati satu miliar liter setahun atau senilai kira-kira Rp 4,3 triliun, sementara biaya yang dibayarkan PLN kepada orang desa hanya Rp 1,29 triliun,” ujar Puni.

Keuntungan lain berhubungan dengan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, yaitu Protokol Kyoto. “Karena sumber energinya bersih, maka Clean Development Mechanism pembangkit mikrohidro dapat menjual Certified Emission Reduction kepada negara maju. Nilai untuk 5.000 pembangkit listrik tadi adalah 6 juta dollar AS per tahun. Dana ini dapat dipakai untuk membangun lebih banyak desa.”

Lalu, kenapa pemerintah tidak melaksanakan skema ini?

Saya melihat penyebabnya, sistem anggaran yang mengharuskan adanya kontraktor yang membuat tidak terbangunnya komunitas. Akibatnya, hasilnya tidak langgeng. Sistem ini dijalani karena takut ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan tanpa KPK birokrasi kita sudah terkenal amburadul. Seperi lingkaran setan.

Solusinya?

Memperkuat masyarakat desa. Kami membantu orang desa mendirikan koperasi yang berbadan hukum sehingga bisa membuka rekening bank. Dana untuk membangun pembangkit ditransfer langsung ke rekening itu. Cara ini yang saya minta dikopi pemerintah.

Warna Kehidupan

Hidup Ini Mengalir Saja

Tri Mumpuni, anak ketiga dari delapan bersaudara ini, menyebut hidupnya mengalir saja. Sejak kecil, ketika tinggal di Semarang, Jawa Tengah, dia terbiasa melihat dan membantu ibunya yang aktif dalam kegiatan sosial. “Rumah kami jadi tempat posyandu, Ibu mengajar Kejar Paket A dan B. Jadi, saya biasa ikut menimbang anak-anak balita,” tutur Puni, panggilannya.

Bagi Puni, keluarga adalah sekolah yang tidak pernah berhenti. “Saya belajar dari Bapak dan Ibu saya,” tutur anak pasangan Wiyatno (almarhum) yang bekerja di BUMN dan Gemiarsih ini.

Ayahnya mengajari dia untuk berbagi, sementara ibunya mengajari memberi. Berbagi, kata Puni, artinya membagi berapa pun yang dipunyai untuk orang lain yang membutuhkan, pada saat yang tepat. Tak mengherankan rumah keluarga ini selalu ramai oleh saudara atau orang-orang dari desa yang tinggal bersama mereka dan disekolahkan orangtua Puni dan mereka yang tinggal bersama dianggap sebagai saudara.

Sedini usia kelas IV SD Puni sudah rajin ikut ibunya keliling ke kampung-kampung mengobati orang yang kena penyakit koreng. “Lucunya, setelah dewasa saudara-saudara bilang, hanya saya yang paling sering membantu Ibu,” kenang Puni tentang kegiatan ibunya yang lulusan Sekolah Kepandaian Putri.

“Pengalaman-pengalaman itu memperlihatkan kepada saya, dari proses hubungan manusia itu uang bukan segala-galanya,” tambah Puni.

Dia tidak patah semangat ketika cita-citanya masuk Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro tak terwujud. Prof Dr Andi Hakim Nasoetion-lah yang menelegram orangtua Puni agar anaknya segera ikut kuliah bersama mahasiswa tingkat satu di Institut Pertanian Bogor. “Telegram dari Pak Andi sampai dialbumkan Ayah,” kenang Puni. Andi Hakim, juri lomba karya ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), rupanya terus mengikuti kabar para finalis lomba yang tahun 1982 dimenangi Puni.

Suaminya, Ir Iskandar Kuntoadji, adalah sarjana geologi dari Institut Teknologi Bandung, dan belajar pembangkit mokrohidro di Swiss. Dari Iskandar, Puni banyak belajar mengenai kesederhanaan dan kejujuran.

“Sebagai perempuan, wajar kalau saya tertarik pada mode, sepatu dan tas. Biar sudah punya, kadang-kadang ingin beli lagi. Apalagi kalau modelnya bagus sekali, atau ketika sedang di luar negeri. Mas Iskandar hanya bilang, apa saya benar-benar membutuhkan itu.

“Kompromi saya, saya kadang menuruti dia, kadang saya beli juga tetapi saya berikan kepada orang. Jadi, ego saya terpenuhi, tetapi bukan untuk saya. Saya merasa situasi itu win-win.”

Iskandar juga mengajari bahwa rezeki itu cukup satu gelas. Kalau sudah lebih, berikan pada orang lain. “Itu mengajarkan untuk menahan diri dari keserakahan. Lingkungan kita rusak karena ego untuk terus mengonsumi, terus menumpuk.”

Dia menyebut hidupnya sangat berwarna. Suatu kali dia bersama suami dan anak tertuanya, Ayu yang ebrsekolah di Kanada, berada di dusun di hutan Ketambe, Gunung Leuser, Aceh Timur, yang gelap gulita tak ada listrik. Tetapi, kali lain dia ada di New York atas undangan Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Dubrovnik di Kroasia, atau Beijing di China.

“Ayu bilang, betapa tidak adilnya ketika 47 persen orang Indonesia belum dapat listrik. Kami katakan, yang lebih tidak adil lagi adalah uang untuk melistriki mereka dikorup. Ini kriminal.” (NMP/MH)

Tri Mumpuni Wiyatno

Nama:Tri Mumpuni

Tempat dan tanggal lahir: Semarang, 6 Agustus 1964

Keluarga: Suami: Ir Iskandar Budisaroso Kuntoadji. Anak: Ayu Larasati (21), mahasiswi industrial design di Toronto University, Kanada, dan Asri Saraswati (19), mahasiswi bioprocess chemical engineering di University of Technology Malaysia.

Pendidikan: Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor; Energy and Sustainable Development International Session, Universidad da Costa Rica, 1992; Trade and Sustainable Development Course, Chiang Mai University, Thailand, 1993; Leadership for Environment and Development Course, 1993-1995, LEAD based in New York funded by Rockefeller Foundation; Lead Fellows (Cohort 2).

Penghargaan: Climate Hero 2005 dari World Wildlife Fund for Nature.

Pekerjaan: Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, Subang. []

Sumber: Kompas.
http://sosok.wordpress.com/2007/07/20/tri-mumpuni-wiyatno-menerangi-desa

11 Tanggapan

  1. hebat ya ada wanita seperti tri mumpuni, sudah gitu blio tidak arogan sama sekali 🙂 dia merupakan salah satu inspirasi saya dalam gerakan “Wanita Juga Bisa”

  2. Permisi pak, apa saya boleh tau alamat email ibu Tri Mumpuni atau no hp dia? terimakasih.

    Bing

  3. bagi yg ingin kenal lebih lanjut Tri Mumpuni silahkan add saja di FB – mudah mudahan di add dan anda bisa interaktif dgn beliau.

  4. salam,

    mohon bantuannya
    apakah saya bisa dapatkan alamat email Ibu Tri Mumpuni?
    kalo bisa tolong diemail ke yosiamangosa@yahoo.com

    trima kasih

    salam

  5. Succes untuk Ibu Tri Mumpuni

    Saya Bangga liat perjuangan beliau dan keluarga , mohon kami bisa diberi informasi untuk bisa lebih banyak , karena juga sedang membuat kincir air untuk
    listrik biar lebih pas dan maksimal.

    Terima kasih

    Haryo

  6. Email bu Tri Mumpuni saya tidak ada.
    Tapi coba kontak beliau lewat Facebook.com:
    http://www.facebook.com/profile.php?id=1665214956

  7. bagus bagus ibu pembangun bangsa trimakasih,jasamu tidak ternilai,kau teruskan cita cita pahlawan dengan pembangunan

  8. Ibu Tri Mumpuni Yth:
    Saya bangga dengan semangat dan kerja keras ibuk, untuk itu saya ingin bergabung dengan kegiatan ibuk dalam rangka pengembangan PLTMH. Saya sebagai mahasiswa yang konsentrasi saya adalah energi terbarukan (mikro hidro).
    Mohon kiranya ibu berkenan berbagi infomasi seputar PLTMH.
    Terima kasih.

    Sohib

  9. assalamualaykum,,
    ibu begitu bagus sekali yan ibu lakukan,,
    bu karena d daerah tempat sy kuliah di kota surabaya ada daerah yg blom punya lampu penerang jalan,saya sangat tertarik untuk bisa membantu masyarakat dsana,,
    sekiranya ibu berkenan untuk membagi informasi tentang PLTMH
    terima kasih…

  10. wah mantap, saya bisa minta no telp sdin unt membahas masalah ini

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.